TENTANG VAGINISMUS

TMenurut Crowley, 2009 vaginismus merupakan spasme otot di daerah sepertiga bagian luar vagina yang dapat disebabkan oleh penetrasi yang dapat menyebabkan distress. Dalam arti lain, vaginismus adalah kesulitan yang berulang dari wanita untuk mengizinkan masuknya penis, jari, atau benda apapun ke dalam vagina meskipun wanita itu menginginkannya. Vaginismus juga berhubungan dengan perasaan jijik memikirkan kontak vagina atau penetrasi penis dapat menimbulkan refleks defensif yang membangkitkan aktivitas otot panggul secara tidak sengaja (Jeng, 2004). Dapat disimpulkan juga vaginismus adalah kekakuan otot dinding-dinding vagina yang tidak bisa dikendalikan oleh perempuan sehingga penetrasi vagina tak mampu ditolerir (Hiller, 2009). Penyakit yang diklasifikasi sebagai penyakit organ reproduksi dan saluran kemih ini, secara umum terbagi menjadi dua bagian, yaitu kendala dan kegagalan penetrasi vagina. Hingga kini, belum diketahui berapa jumlah pengidap vaginismus di Indonesia, tapi mengacu pada angka di Amerika Serikat, jumlahnya mencapai 7% hingga 17% dari populasi perempuan negara tersebut (Crowley, 2009). Risiko paling besar adalah ditinggal oleh suami sehingga membuat wanita tersebut trauma dan frustasi. Pengaruh terhadap psikologisnya juga besar karena lingkungan terdekat saja tidak mendukung dengan baik, padahal mereka itu bukannya tidak mau tetapi mereka tidak mampu.

Lalu bagaimana dengan etiologi vaginismus? Terjadinya vaginismus disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikologis. Faktor fisik yang menyebabkan vaginismus adalah adanya kelainan dalam alat kelamin yang menyebabkan rasa sakit waktu hubungan seks dilakukan, kelainan bawaan pada vagina, penebalan hymen yang menimbulkan kejang, dan infeksi dari genetalia. Faktor Psikologis yang menyebabkan vaginismus meliputi kefanatikan terhadap paham bahwa seks itu “dosa dan kotor” dikarenakan pendidikan keliru dari masa kecil, penderitaan waktu hamil dan melahirkan, pengalaman pahit dalam kejahatan seksual, ketakutan berkembang menjadi wanita seutuhnya karena wanita tetap mempertahankan ikatan dengan orang tua dan tidak menginginkan hubungan seks yang utuh, trauma pada malam pertama, dan lesbian. Untuk menyalurkan nafsu seksualnya manusia menempuh berbagai cara, baik yang dihalalkan agama maupun dengan cara yang tidak dihalalkan. Penyaluran seks yang dihalalkan agama adalah perkawinan. Dalam perkawinan suami istri bisa menyalurkan nafsu seksnya secara sah, teratur, sopan dan sehat. Gangguan vaginismus tidak hanya melibatkan penderita (istri) saja tetapi juga berakibat bagi pasangannya. Gangguan yang diderita suami diantaranya adalah gangguan psikologis dan gangguan biologis. Suami yang tidak dapat menyalurkan nafsu seksualnya akan mengalami depresi, sering marah, susah tidur, mudah tersinggung, dan menderita penyakit psikosomatik. Suami merasa takut untuk melakukan hubungan karena berfikir akan gagal lagi, sehingga minat untuk melakukan hubungan seksual menjadi hilang. Sebaliknya, istri yang menderita vaginismus akan merasa malu, rendah diri, frustasi, apatis, labil, dan perasaan bersalah dan berdosa karena tidak bisa melaksanakan kewajibannya memenuhi kebutuhan batin suami. Bahkan rasa malu, rendah diri dan bersalah akan mengakibatkan frustasi, apatis, dan labil dalam bertindak. Apabila suami memaksakan diri untuk melakukan hubungan seks dengan istri yang menderita vaginismus maka akan menimbulkan sakit yang teramat sangat bagi istri. Oleh karena itu, penanganan secara komprehensif sangat perlu dilakukan (Jeng, 2004).

Perawatan yang bisa diberikan terdiri dari pendidikan, konseling, dan latihan perilaku. Tujuan dari pengobatan adalah untuk memungkinkan wanita menjadi lebih nyaman dengan alat kelaminnya, dengan mengajarkan teknik relaksasi yang akan digunakan dalam hubungan. Selain itu, juga dilakukan eksplorasi alat kelamin sendiri dan penyisipan “Vaginal trainers” berupa batang plastik halus yang memiliki pegangan dan gel pelumas untuk memudahkan saat memasukkan (Crowley, 2009). Apabila pasien sudah memiliki pasangan, maka program yang ditawarkan adalah program fokus sensasi. Namun, rujukan ke spesialis seperti ginekolog, terapis seksual psikiater disarankan jika mengalami kecemasan, resistensi fobia terhadap pemeriksaan atau masalah kesehatan mental. Lalu bagaimana dengan upaya preventif yang dapat dilakukan ? Pemeriksaan alat kelamin dapat memberikan informasi tentang anatomi dan fungsi seksual, juga dapat digunakan untuk mengajarkan latihan kontraksi serta relaksasi dasar panggul. Menurut de Carvalho, 2017 pengobatan lain yang bisa dilakukan yaitu sebagai berikut :

  1. Relaksasi progresif. Ini terdiri dari mengencangkan dan mengendurkan kelompok otot secara bergantian dalam urutan yang dijelaskan misalnya, mulai dari kaki dan bergerak ke atas.Hal ini diajarkan kepada wanita untuk menggunakan jari sendiri atau memasukkan pelatih vagina.
  2. Desensitisasi. Ini digunakan dalam terapi perilaku untuk mengobati fobia dan masalah perilaku lain yang melibatkan kecemasan. Pasien terpapar situasi provokasi cemas yang berangsur-angsur menjadi lebih mengancam (dalam kasus ini pelatih vagina yang secara bertahap meningkat ukurannya) sampai mereka dapat mentolerir situasi dengan nyaman.
  3. Sensasi fokus. Ini adalah studi aktivitas menyentuh terstruktur yang dirancang untuk membantu pasangan mengatasi kecemasan dan meningkatkan kenyamanan keintiman fisik.Fokusnya adalah pada sentuhan daripada kinerja.Hubungan seksual pada awalnya dilarang dan pekerjaan rumah bersama-sama dilakukan untuk secara bertahap berpindah melalui keintiman untuk penetrasi.
  4. Elektromiografi. Teknik ini menggunakan elektromiografi, yang mendeteksi potensial listrik yang dihasilkan oleh sel otot yang tidak aktif Anda istirahat, mengevaluasi dan mencatat sinyal aktivasi otot.  Biofeedback Dalam teknik ini, wanita menggunakan elektromiografi, yang mengukur aktivasi otot dengan elektroda permukaan.Pada semua pemeriksaan vagina, untuk membantu mengidentifikasi kapan dia mengaktifkan otot-otot panggul panggul.Fisioterapis dapat menawarkan kepada wanita ini bersama-sama dengan latihan dasar panggul. Serangkaian kecil laporan kasus tentang penggunaan biofeedback telah menemukan bahwa pasangan dapat mencapai hubungan yang menguntungkan dengan menggunakan metode ini.
  5. Hipnoterapi. Hipnosis adalah kondisi yang diinduksi dari relaksasi yang meningkat dan kesadaran yang berubah selama orang tersebut saran yang dapat mengubah perilaku tertentu.Sebuah studi observasi baru-baru ini terhadap delapan wanita menemukan bahwa hal itu bermanfaat untuk pengobatan nyeri seksual. Hasil yang berhasil dilaporkan pada enam wanita yang dirawat dalam kelompok hipnoterapi.

Beberapa upaya dapat dilakukan untuk mendukung dan memotivasi wanita penderita vaginismus agar tetap mau berjuang melawan kondisinya, antara lain :

  1. Dukungan dari semua pihak sangat diperlukan oleh pengidap vaginismus terutama suami/keluarga dan tenaga medis. Pasangan dari penderita vaginismus harus menjadi orang pertama yang memahami penderita secara menyeluruh. Dengan menunjukkan sikap pengertian dan memberi dukungan kepada penderita, itu sudah lebih dari cukup untuk membangun semangat penyembuhan.
  2. Dalam sosial media, budaya bullying terhadap perempuan juga menjadi faktor besar yang semakin memperparah kondisi mental perempuan penderita vaginismus. Oleh karena itu, penting bagi penderita vaginismus untuk menghindari akun-akun toxic yang bersifat menindas dan tidak mengedukasi sebagaimana mestinya.
  3. Stigma negatif mengenai penderita vaginismus seperti menyudutkan dan menyalahkan penderita atas kondisi mereka juga harus dihindari apalagi mengajukan pertanyaan yang dapat menyinggung perasaan wanita tersebut.
  4. Menyuarakan dukungan terhadap penderita vaginismus melalui media sosial yang berisi tentang etiologi vaginismus itu sendiri.
  5. Upaya paling penting adalah keinginan wanita itu sendiri untuk berjuang melawan kondisi dan stigma negatif dengan melakukan pemeriksaan dan pengobatan dengan tenaga kesehatan yang ahli di bidangnya karena kerap tidak semua wanita ingin disentuh orang lain mengingat itu adalah organ tubuh yang sangat privacy.

Referensi :

1. Crowley, T., Goldmeier, D. and Hiller, J., 2009. Diagnosing and managing vaginismus. Bmj, 338.

2. Jeng, C.J., 2004. The pathophysiology and etiology of vaginismus. Taiwanese Journal of Obstetrics and Gynecology, 43(1), pp.10-15.

3. de Carvalho, J.C.G.R., Agualusa, L.M., Moreira, L.M.R. and da Costa, J.C.M., 2017. Multimodal therapeutic approach of vaginismus: an innovative approach through trigger point infiltration and pulsed radiofrequency of the pudendal nerve. Brazilian Journal of Anesthesiology (English Edition), 67(6), pp.632-636.

ABOUT VAGINISMUS

According to Crowley, 2009 vaginismus is a muscle spasm in the outer third of the vagina that can be caused by penetration that can cause distress. In another sense, vaginismus is a woman’s recurring difficulty in allowing the entry of a penis, finger, or any object into the vagina even though she wants to. Vaginismus is also associated with feelings of disgust at the thought that vaginal contact or penile penetration can cause defensive reflexes that evoke pelvic muscle activity inadvertently (Jeng, 2004). It can also be concluded that vaginismus is the stiffness of the muscles of the vaginal walls that cannot be controlled by women so that vaginal penetration cannot be tolerated (Hiller, 2009). Diseases that are classified as diseases of the reproductive organs and urinary tract, In general, it is divided into two parts, namely the obstacle and failure of vaginal penetration. Until now, it is not known how many people have vaginismus in Indonesia, but referring to figures in the United States, the number reaches 7% to 17% of the country’s female population (Crowley, 2009). The biggest risk is being left by her husband, which makes the woman traumatized and frustrated. The psychological impact is also great because their immediate environment does not support them well, even though they are not unwilling but they are unable.

Then what about the etiology of vaginismus? The occurrence of vaginismus is caused by physical factors and psychological factors. Physical factors that cause vaginismus are abnormalities in the genitals that cause pain during intercourse, congenital abnormalities in the vagina, thickening of the hymen that cause seizures, and infection from genitalia. Psychological factors that cause vaginismus include bigotry towards the notion that sex is “sinful and dirty” due to mistaken education from childhood, suffering during pregnancy and childbirth, bitter experiences in sexual crimes, fear of developing into a complete woman because women maintain bonds with their parents and don’t want full sex, trauma on the first night, and lesbians. To channel human sexual desire through various ways, whether it is religiously legalized or in a way that is not lawful. The channeling of sex that is legalized by religion is marriage. In marriage, husband and wife can channel their sexual desire legally, regularly, politely and healthily. Vaginismus disorders not only involve the sufferer (wife) but also affects the partner. The disorders suffered by the husband include psychological and biological disorders. Husbands who are unable to channel their sexual desires will experience depression, frequent anger, insomnia, irritability, and suffer from psychosomatic illnesses. Husbands feel afraid to have intercourse because they think they will fail again, so that their interest in sexual intercourse is lost. On the other hand, a wife suffering from vaginismus will feel ashamed, inferior, frustrated, apathetic, unstable, and feel guilty and sinful because she cannot fulfill her obligations to fulfill her husband’s inner needs. Even shame, inferiority complex and guilt will result in frustration, apathy, and unsteadiness in acting. If the husband forces himself to have sex with a wife who has vaginismus, it will cause a lot of pain for the wife. Therefore, comprehensive handling is very necessary (Jeng, 2004).

The treatment that can be provided consists of education, counseling, and behavioral training. The goal of treatment is to allow women to become more comfortable with their genitals, by teaching them relaxation techniques to use in intercourse. In addition, self-exploration of the genitals was also carried out and insertion of “vaginal trainers” in the form of smooth plastic rods that have a handle and lubricating gel to make insertion easier (Crowley, 2009). If the patient already has a partner, the program offered is a sensation focus program. However, referral to a specialist such as a gynecologist, psychiatric sexual therapist is recommended if you have anxiety, phobic resistance to screening or mental health problems. Then what about preventive efforts that can be done? Examination of the genitals can provide information about sexual anatomy and function, and can be used to teach pelvic floor contraction and relaxation exercises. According to de Carvalho, 2017 other treatments that can be done are as follows:

  1. Progressive relaxation. It consists of alternately tightening and relaxing muscle groups in the order described for example, starting from the leg and moving upwards. It is taught to women to use their own fingers or to insert a vaginal trainer.
  2. Desensitization. It is used in behavioral therapy to treat phobias and other behavioral problems involving anxiety. The patient is exposed to a situation of gradual anxiety provocation becoming more threatening (in this case vaginal trainers gradually increasing in size) until they can tolerate the situation comfortably.
  3. Focus sensation. This is a structured touching activity study designed to help couples deal with anxiety and increase the comfort of physical intimacy. The focus is on touch rather than performance. Sexual intercourse is initially prohibited and joint homework is undertaken to gradually move through intimacy to penetration.
  4. Electromyography. This technique uses electromyography, which detects the electrical potential generated by your resting inactive muscle cells, evaluates and records muscle activation signals. Biofeedback In this technique, the woman uses electromyography, which measures muscle activation with surface electrodes. During all vaginal examinations, to help identify when she is activating the pelvic pelvic muscles. The physiotherapist can offer these women along with pelvic floor exercises. A small series of case reports on the use of biofeedback have found that couples can achieve beneficial relationships using this method.
  5. Hypnotherapy. Hypnosis is a condition that is induced by increased relaxation and altered awareness during the person’s suggestion that certain behaviors change. A recent observational study of eight women found that it was beneficial for the treatment of sexual pain. Successful results were reported in six women treated in the hypnotherapy group.

Several efforts can be made to support and motivate women with vaginismus to continue to fight against the condition, including:

  1. Support from all parties is needed by people with vaginismus, especially husband / family and medical personnel. The partner of someone with vaginismus must be the first to fully understand the sufferer. By showing understanding and giving support to the sufferer is more than enough to build a spirit of healing.
    1. In social media, the culture of bullying against women is also a big factor that aggravates the mental condition of women with vaginismus. Therefore, it is important for people with vaginismus to avoid toxic accounts that are oppressive and do not educate them properly.
    1. Negative stigma regarding vaginismus sufferers such as cornering and blaming the sufferer for their condition should also be avoided, let alone asking questions that can offend the woman.
    1. Voicing support for vaginismus sufferers through social media which contains the etiology of vaginismus itself.
    1. The most important effort is the desire of women themselves to fight against negative conditions and stigma by conducting examinations and treatment with health professionals who are experts in their fields because often not all women want to be touched by other people considering that it is a very important organ of the body privacy.

References :

1. Crowley, T., Goldmeier, D. and Hiller, J., 2009. Diagnosing and managing vaginismus. Bmj, 338.

2. Jeng, C.J., 2004. The pathophysiology and etiology of vaginismus. Taiwanese Journal of Obstetrics and Gynecology, 43(1), pp.10-15.

3. de Carvalho, J.C.G.R., Agualusa, L.M., Moreira, L.M.R. and da Costa, J.C.M., 2017. Multimodal therapeutic approach of vaginismus: an innovative approach through trigger point infiltration and pulsed radiofrequency of the pudendal nerve. Brazilian Journal of Anesthesiology (English Edition), 67(6), pp.632-636.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *