DIKALA 1

Beauty and Insecurity
DIKALA 1 – Departemen Advokastrat ARMABI


Source : <a href=’https://www.freepik.com/photos/women-friends’>Women friends photo created by lookstudio – www.freepik.com</a>

            Seorang perempuan identik dengan kecantikan. Tren terkait kecantikan begitu meluas dan gencar berpatokan pada mereka yang berkulit putih tanpa ada flek atau jerawat di wajahnya, bibir merah merona, bertubuh langsing dengan lekuk sempurna yang mana tidak semua dimiliki oleh kaum perempuan. Penyebaran definisi cantik ini begitu luas pada media sosial khususnya Instagram dan  dipopulerkan oleh para influencers sehingga perempuan pun akhirnya rela membeli kosmetik, skincare, dan melakukan berbagai macam treatment kecantikan di klinik dermatologis dengan nominal jutaan rupiah demi kulit yang putih mulus tanpa noda. Produk-produk kecantikan yang mempunyai label “whitening” pun banyak bermunculan karena membludaknya permintaan pasar. Mereka juga kerap berbelanja pakaian yang sedang digandrungi masyarakat untuk tampil gaya. Tidak heran jika apa yang dilakukan para perempuan ini akhirnya membuat diri sendiri tersiksa dan merasa wajib untuk tampil cantik di depan publik. Meskipun kecantikan selalu dikaitkan pada perempuan, pada kenyataannya  laki – laki turut serta dan andil atas kesalahan stigma ini. Wacana kecantikan dan feminitas tidak lepas dari kultur budaya patriarki yang memberikan kuasa kepada laki-laki di satu sisi untuk memberikan pengakuan atas feminitas perempuan, dan di sisi lain perempuan juga turut mencari pengakuan atas feminitasnya dari laki-laki (Hermansyah, 2011).

Cantik sebagai sesuatu yang tidak bersifat universal atau tidak dapat diubah, melainkan berbeda-beda berdasarkan konstruksi dari pemikiran masyarakat mengenai konsep cantik itu sendiri. Konstruksi tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan yang diterima dan diyakini oleh suatu masyarakat. Tubuh merupakan objek yang penuh dengan tendensi-tendensi atas ideologi yang mengkonstruksinya. Kontruk-kontruk tersebut diciptakan dan menjadi pedoman yang harus dicontoh serta diterapkan. Seperti yang dikatakan Ella dan Yepa (dalam Prasetyo 2018), di Indonesia, citra cantik perempuan suku Dayak ditunjukan dengan perempuan yang tidak memiliki kulit bersih dan juga jumlah anting yang tergantung di telinganya, sehingga semakin banyak anting yang tergantung maka semakin cantik perempuan tersebut. Pengakuan cantik pada umumnya diperoleh dari berbagai ajang kontes kecantikan baik pada level nasional dalam suatu negara maupun internasional antar Negara. Indonesia termasuk salah satu negara yang rutin mengirimkan utusan dalam ajang kontes Miss Universe atau Miss World. Menurut Hermansyah (2011) berbagai kontes kecantikan tersebut dapat berdampak negatif ketika terjadi eksploitasi perempuan di media massa dan bahkan dapat dipandang pula sebagai pelecehan terhadap perempuan.

            Lalu bagaimana dengan ke-insecure-an yang banyak menjadi dilema perempuan sebagai kodratnya menjadi manusia yang berhubungan serta berinteraksi dengan perempuan-perempuan lain? Pembahasan tersebut masih berhubungan erat dengan penggunaan media sosial. Menurut Mu’awwanah pada tahun 2017, Insecure adalah istilah untuk menggambarkan perasaan tidak aman yang membuat seseorang merasa gelisah, takut, malu, hingga tidak percaya diri. Perlu diketahui penggunaan media sosial yang berlebihan akan berdampak buruk bagi penggunanya, khususnya perempuan dewasa awal yang beradaptasi untuk beranjak dewasa akan lebih peka terhadap perasaan dan emosi sehingga lebih mudah menimbulkan rasa insecure dalam dirinya, dengan adanya rasa insecure dalam diri pun akan memberikan dampak buruk yang mengakibatkan kehidupan sosial dan kesehatan fisik terganggu, serta dapat menghambat kesuksesan seseorang. Body goals mulai bermunculan dari unggahan foto artis atau selebgram yang memiliki followers cukup banyak dan memberi pengaruh cukup besar dengan menunjukkan bagaimana standar kecantikan dan bagaimana seharusnya gambaran ideal fisik seseorang (Prasetyo, 2018). Unggahan foto-foto tersebut seringkali kaum perempuan membanding-bandingkan diri mereka dengan foto dalam unggahan tersebut. Sebagian dari mereka menganggap hal tersebut sebagai kompetisi yang harus dicapai untuk menjadi yang paling cantik. Hal ini tidak hanya semata-mata untuk kebutuhan fisiologis perempuan saja, tetapi standar kecantikan yang harus dipenuhi ini berhubungan dengan harga diri dan identitas sosial untuk mendapatkan kebahagiaan seseorang (Prasetyo, 2018). Dampak dari pada kejadian tersebut salah satunya banyak perempuan menyesal bahkan membenci dirinya karena tidak memenuhi standar kecantikan yang digambarkan oleh media. Kebencian tersebut bukan tidak mungkin mengarah kepada hal-hal negatif seperti diet ketat yang membahayakan kesehatan, eating disorder seperti bulimia dan anoreksia. Dari kebencian itu memunculkan kekhawatiran atau insecurity dalam diri perempuan sehingga terobsesi untuk memenuhi standar kecantikan yang berlaku di lingkungan sosialnya.

Setelah dilakukan diskusi dan kajian bersama dengan mahasiswi Kebidanan FK UB, didapatkan berbagai pendapat dan sudut pandang yang sangat menarik dan tentunya memberikan banyak solusi terkait topik yang diangkat. Menurut mereka, standard of beauty adalah cantik, putih, dan bertubuh sempurna merupakan kultur yang tidak benar-benar ada dan hanya diciptakan oleh kelompok atau segelintir orang yang memiliki kepentingan dengan hal tersebut. Standar kecantikan tidak tertutup pada fisik saja, akan tetapi harus diperluas dari segi perilaku diri dan potensi intelektual. Terciptanya standar tersebut tidak bisa menjadi patokan penilaian dari satu sudut pandang saja, karena setiap perempuan berasal dari banyak ras, suku, dan budaya yang berlaku di lingkungannya serta memiliki karakteristik uniknya masing-masing. Contohnya, adanya ajang kecantikan yaitu Miss Universe. Kolega Kebidanan FK UB berpendapat, hingga saat ini dampak berlakunya standar kecantikan atau beauty privilege tersebut masih hangat dirasakan. Seperti persyaratan lowongan kerja mengharuskan good looking atau berpenampilan menarik, terjadinya pilih kasih dalam pertemanan di mana yang cantik akan lebih mudah mendapat teman dan mudah diterima dalam sebuah kelompok pertemanan. Tetapi tidak selamanya pandangan Beauty Privilege oleh mereka yang terdiskriminasi adalah hal benar. Beberapa dari mereka beranggapan, bahwa mereka yang cantik pasti akan menang dalam segala situasi, padahal tidak selalu demikian, bisa saja mereka telah mengoptimalisasi diri mereka dengan mengasah bakat, rajin belajar, dan pandai merawat diri. Selain itu, standarisasi ini dapat membuat seorang perempuan mendiskriminasi dirinya sendiri dengan cara membenci diri sendiri karena tidak dapat memenuhi aktualisasinya di mata masyarakat. Pemikiran-pemikiran negatif seperti ini pada akhirnya menurunkan kepercayaan diri perempuan bahkan bisa sampai dalam fase depresi atau gangguan mental.

Pada pembahasan terkait bagaimana solusi untuk mengubah stigma negatif dan keluar dari standar kecantikan, Mahasiswi Kebidanan FK UB sebagian besar berpendapat bersarkan dari dua faktor, yakni faktor internal dan eksternal. Dari sisi internal, kita melihat dan meraba diri kita sendiri, apakah kita sudah bersyukur atas apapun bentuk tubuh yang sudah didesain sedemikian rupa oleh Tuhan? Karena hanya dengan bersyukur tersebut justru Tuhan akan memberikan kenikmatan-kenikmatan yang lain. Sebagai perempuan diupayakan bisa membiasakan untuk berpikir positif terhadap citra diri sendiri. Dengan bersyukur dan mencintai diri sendiri akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk merawat dan menjaga kebersihan serta kesehatan tubuh. Rasa tanggung jawab akan menimbulkan keinginberan untuk menghindarkan diri dari mara bahaya yang akan mendekat. Sebagai perempuan, akan lebih baik jika bijak serta tidak terombang-ambing dengan pengaruh lingkungan sekitar yang tidak baik. Dari sisi eksternal, cara yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan pengetahuan dan wawasan kita untuk memberikan pengaruh yang positif untuk orang-orang terdekat kita. Sebagai perempuan harus dapat memfiltrasi pencarian media massa dengan baik, tidak jarang postingan-postingan sering kali membuat perempuan membanding-bandingkan diri mereka dengan unggahan tersebut. Sebagian dari mereka menganggap hal tersebut sebagai kompetisi yang harus dicapai untuk menjadi yang paling cantik. sering kali kaum perempuan membanding-bandingkan diri mereka dengan foto dalam unggahan tersebut. Kita harus memiliki kemampuan berpikir kritis dalam menerima sebuah informasi, hal tersebut bertujuan untuk menghindari pengguna media sosial terjerumus pada informasi-informasi yang belum pasti kebenarannya (Prasetyo, 2018). Sebagai mahasiswa, kita dapat memberikan dukungan terhadap sesama perempuan seperti dengan memberikan informasi terkait baik buruknya standar kecantikan dan memanfaatkan media sosial untuk terus menyebarluaskan informasi yang positif seperti konten mencintai diri sendiri, cara perawatan tubuh, dan cara diet sehat.

Lalu bagaimana solusi untuk kita dan mereka yang merasa insecure terhadap pencapaian prestasi orang lain? Dalam rumusan ini kolega Kebidanan FK UB berpendapat bahwa insecure tidak melulu merupakan sikap yang buruk. Terkadang insecure adalah sebuah jalan untuk kita bersyukur dan memiliki keinginan untuk mencapai prestasi sama halnya dengan orang lain. Kita boleh rendah hati dengan orang lain yang pintar akan tetapi jangan menjadikan hal tersebut sebagai alasan membenci sesama manusia gunakanlah sebagai motivasi agar terus semangat belajar. Perjalanan kesuksesan setiap orang pasti berbeda-beda dan kita tidak perlu insecure yang berlebihan karena setiap dari kita dibekali akal dan ilmu yang sama dari Tuhan. Oleh karena itu, belajar introspeksi diri, terus mengembangkan diri, membuat inovasi-inovasi baru adalah pilihan terbaik untuk menggunakan rasa insecure menuju kesuksesan diri. Sesekali membandingkan diri untuk dapat meningkatkan kualitas diri itu baik-baik saja, tetapi tidak perlu dilakukan berlebihan. Karena jika berlebihan akan ada implikasi negatif pada kesejahteraan psikologis seperti mempersempit pola pikir, membuang waktu, dan menjadi sering berkeluh kesah. Selain solusi yang telah disebutkan di atas, kita bisa melakukan pendekatan dan berempati kepada teman kita yang dilanda ke-insecure-an, coba dengarkan keluh  kesah mereka dan sesekali beri pujian untuk kelebihan-kelebihan mereka. Selain itu, kita dapat memanfaatkan media informasi yang ada untuk mengerti isu-isu terkini seperti pernikahan dini dan pemilihan jenis kontrasepsi yang sering kali masih kurang dipahami orang lain. Dengan wawasan yang baik, kita dapat berbagi informasi dan mengurangi dampak kurang baik yang akan terjadi pada kualitas hidup perempuan.

Kesimpulan pembahasan di atas adalah paras cantik sebagai sesuatu yang tidak bersifat universal, melainkan berbeda-beda berdasarkan konstruksi dari pemikiran masyarakat mengenai konsep cantik itu sendiri. Hal tersebut hanya kultur yang tidak benar-benar ada dan hanya diciptakan oleh kelompok atau segelintir orang yang memiliki kepentingan dengan hal tersebut. Standar kecantikan tidak tertutup pada fisik saja, akan tetapi harus diperluas dari segi perilaku diri dan potensi intelektual. Terciptanya standar tersebut tidak bisa menjadi patokan penilaian dari satu sudut pandang saja, karena setiap perempuan berasal dari banyak ras, suku, dan budaya yang berlaku di lingkungannya serta memiliki karakteristik uniknya masing-masing. Solusi untuk bisa terlepas dari standarisasi tersebut berasal dari faktor internal dan eksternal. Dari sisi internal terfokus bagaimana sebagai perempuan harus bisa menerima dengan mencintai diri sendiri apa adanya. Perilaku ini sangat dibutuhkan bagi setiap perempuan agar mereka dapat menghargai diri dengan fisik yang sudah diberikan oleh Tuhan. Lalu dari sisi eksternal bisa dilakukan dengan cara menyaring segala informasi yang kita dapatkan dan yang akan kita bagikan ke orang lain. Kita dapat memberikan dukungan terhadap sesama perempuan seperti dengan memberikan informasi terkait baik buruknya standar kecantikan dan memanfaatkan media sosial untuk terus menyebarluaskan informasi yang positif seperti konten mencintai diri sendiri, cara perawatan tubuh, dan cara diet sehat.

Daftar Pustaka :

Aminah, S. 2020. Good looking; bullying and insecure.

Fimela. 2022. 5 Jenis Insecurity yang Bisa Terjadi Pada Setiap Orang. https://www.fimela.com/health/read/4863941/5-jenis-insecurity-yang-bisa-terjadi-pada-setiap-orang. Diakses 16 Maret 2022.

Hermansyah, H., 2011. KONTES KECANTIKAN DAN EKSPLOITASI PEREMPUAN DALAM MEDIA. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender10(2), pp.134-146.

Magdalene. 2021. Bagaimana Standar Kecantikan Perempuan Menghancurkan perempuan?. https://magdalene.co/story/standar-kecantikan-hancurkan-perempuan. Diakses pada 12 Maret 2022.

Prasetyo, A.B., 2018. Strategi Berpikir Kritis Dalam Penggunaan Media Sosial Di Kalangan Jamaah Masjid Gunungsari Indah Surabaya (Studi Deskriptif tentang kemampuan berpikir kritis para pengguna smartphone ketika menerima berita Hoax) (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

Rizkiyah, I. and Apsari, N.C., 2019. Strategi Coping Perempuan Terhadap Standarisasi Cantik di Masyarakat. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Gender18(2), pp.133-152.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *