PERNIKAHAN DINI MELONJAK DI MASA PANDEMI. KEJAR IJAZAH ATAU BUKU NIKAH? BAGAIMANA STRATEGI MEMUTUS MATA RANTAI PERKAWINAN ANAK?

RILIS KAJIAN ADVCORNER 2021

Di tengah masa pandemi Covid-19 yang belum usai, terjadi lonjakan angka pernikahan dini di Indonesia. Menurut Kemen PPN/Bappenas, 400–500 anak perempuan usia 10–17 tahun berisiko menikah dini akibat pandemi Covid-19. Terbukti dengan adanya 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni 2020, yang 97%-nya dikabulkan (katadata. co.id, 16 September 2020). Angka ini meningkat dari tahun 2019 yaitu sebanyak 23.126 perkara dispensasi kawin. Kementerian PPPA mencatat hingga Juni 2020 angka perkawinan anak meningkat menjadi 24 ribu saat pandemi.

Di kala pandemi seperti saat ini, kita ditawarkan pilihan atau dipaksa menjalankan sekolah secara daring atau online. Semua jenjang pendidikan diharuskan untuk daring mengingat kondisi saat ini yang tidak memungkinkan untuk melakukan pembelajaran secara tatap muka. Anak-anak atau siswa yang memiliki fasilitas, seperti laptop atau handphone tentu tidak akan masalah dengan kebijakan ini. Namun, untuk anak-anak yang tidak memiliki fasilitas tersebut tentu pembelajaran daring dirasa memberatkan. Para siswa di daerah yang tidak memiliki fasilitas yang mendukung dalam proses pembelajaran jarak jauh akibatnya mereka menjadi malas belajar dan putus sekolah. Adanya potensi-potensi putus sekolah karena kerja, tidak bisa belajar, pergaulan bebas sehingga harus menikah dini akan menimbulkan persoalan baru, yakni masalah sosial dimana kepribadian serta intelektual remaja menjadi tidak berkembang, dan bonus demografi yang semakin meningkat.

Pernikahan anak saat ini sudah memasuki tanda bahaya. Data menyebutkan pernikahan anak di Indonesia pada tahun 2020 telah menempati peringkat dua di ASEAN. Tekanan sosial ekonomi yang kuat dimulai dari desakan ekonomi, sekolah yang tutup, lapangan pekerjaan yang berkurang, serta kehamilan yang tidak direncanakan menyebabkan angka perkawinan anak selama masa pandemi menjadi naik. Daripada menjadi beban keluarga, menikahkan anak dianggap sebagai salah satu solusi yang diambil selama masa pandemi saat ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya permohonan dispensasi menikah yang melonjak. 

Dari diskusi yang telah dilakukan oleh mahasiswa S1 Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, mayoritas mahasiswa memilih lebih penting untuk mengejar ijazah terlebih dahulu daripada buku nikah untuk menunjang kesejahteraan di masa depan karena walaupun sekolah tidak mengajarkan secara langsung bagaimana membangun rumah tangga yang ideal, tetapi secara tidak langsung dengan bersekolah akan membentuk mental, wawasan, dan pola berpikir anak serta remaja sebagai bekal untuk membangun rumah tangga yang ideal nantinya. Selain itu, pernikahan dini jika dilihat dari umur, fisik, psikis/mental sudah jelas bahwa remaja belum siap untuk membangun bahtera rumah tangga yang nantinya akan menambah daftar masalah apabila tidak disiapkan dengan baik. Karena nantinya, anak tidak akan bisa memilih siapa yang menjadi orang tuanya tetapi kita bisa memilih akan menjadi orang tua seperti apa.

Namun, tidak bisa dipungkiri juga faktor sosial budaya di lingkungan serta faktor ekonomi dari keluarga sangat memengaruhi keputusan untuk memilih mengejar ijazah atau buku nikah. Disampaikan juga dalam diskusi masih banyak remaja yang tidak memungkinkan untuk mengenyam pendidikan karena faktor ekonomi meskipun mereka ingin, sehingga memutuskan untuk menikah.

Jika perkawinan anak terus saja terjadi, dampak yang bisa timbul salah satunya adalah orangtua yang memilih menikah dini akan mengalami kendala di pendidikannya. Di Indonesia sendiri masih melarang dan tidak memperkenankan anak yang sudah menikah untuk melanjutkan sekolah lagi. Lalu dari segi kesejahteraan karena sudah tidak mengenyam pendidikan, tingkat kesejahteraan yang dimiliki juga menurun. Belum lagi ketika harus menghadapi masalah lalu bercerai. Hal ini menambah daftar panjang kesejahteraan yang semakin menurun pada perkawinan anak. 

Karena dilakukan pada usia yang terbilang dini, perkawinan anak juga rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Belum adanya kesiapan mental pasangan yang menikah dalam menjalani bahtera rumah tangga menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi. Selain istri, anak dalam pernikahan dini juga berisiko menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dari segi kesehatan, pernikahan usia dini menyumbang angka kematian dan kesakitan bagi Ibu dan Anak. Kehamilan di usia remaja berpotensi meningkatkan risiko kesehatan pada wanita dan bayi. Hal ini karena tubuh belum siap untuk hamil dan melahirkan. Wanita usia muda masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Jika ia hamil, maka pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya akan terganggu. 

Sebagai mahasiwa, kita tidak bisa memutuskan bahwa usia 16 tahun atau bahkan kurang dari itu dilarang melakukan pernikahan, namun sebagai mahasiwa kita memiliki power untuk ikut menciptakan tren, atmosfer, dan perubahan sosial di masyarakat. Ciptakan komunitas dan atmosfer untuk jangan menikah di usia dini. Jangan menggunakan konsep happilly ever after pada pernikahan. Pernikahan termasuk bagian terbesar dari sebuah kehidupan. Anak dan remaja harus siap dan harus benar-benar tahu apa yang dihadapi nanti. Tanamkan pikiran bahwa perempuan harus mandiri secara finansial dan tidak melulu bergantung pada laki-laki sebagai pemberi nafkah. Hal ini bisa menekan angka pernikahan dini. Posisi tawar akan kuat apabila perempuan menunjukkan bahwa ia berdaya sama seperti laki-laki.

Artikel Rilis Kajian dapat diakses melalui link:

https://bit.ly/RilisKajianAdvcorner2021


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *